Mencemburui Derby di Luar Negeri

,

Baca Juga :


Di tiap pemberitaan sebuah derby di akhir pekan, atau seperti yang terjadi saat ini, ramainya pemberitaan tentang Manchester Derby, menepikan diri darinya adalah hal yang lebih layak dipilih bagi pecinta sepakbola Indonesia. Tak lain agar rasa iri, cemburu tak membesar menjadi benci akan sebuah derby.

Pasalnya, sudah sejak lama sepakbola di negeri ini tak dihiasi laga derby sekota dengan panasnya permusuhan suporter sekota yang mengakar macam Derby Roma, Derby Madrid, Merseyside Derby, Manchester Derby dan sejenisnya. Atau bahkan derby yang berujung pada konflik yang jauh dari lapangan hijau semacam Old Fim Derby antara Glasgow Rangers kontra Celtic yang merembet ke isu agama: Kristen melawan Protestan. Di sini, hal-hal semacam itu nyaris tak pernah terjadi.

Di Indonesia, hampir tak pernah ada duel tim sekota di level papan atas yang bisa merujuk ke sebuah derby sejati. Derby hanyalah ‘bungkusan’ atau boleh dibilang boongan semata. Sebut saja Derby Bandung antara Pelita Bandung Raya dengan Persib Bandung, atau Persema Malang dengan Arema. Dua contoh derby yang ironisnya dukungan di hari pertandingan hanya terjadi di satu sisi. Kecenderungan yang terjadi di hari derby, suporter yang minoritas dalam sebuah derby malah membaurkan diri dengan suporter yang mayoritas.

Malangnya, dari dua contoh derby tersebut di atas, kini sudah tiada lagi. Persema ‘dimatikan’ karena dianggap memberontak ke PSSI, dan Pelita hijrah ke Bekasi.

Tapi mau apa dikata, pindah home base tanpa mempedulikan sejarah klub seperti yang dilakukan Pelita itu memang sudah membudaya di sini. Contoh Persijatim yang hilang dan menjelma menjadi Persijatim Solo FC dan sekarang Sriwijaya FC juga menghilangkan segitiga Derby Jakarta dengan Persija dan Persitara Jakarta Utara. Putra Samarinda lebih memilih ke Bali dan menjelma menjadi Bali United Pusam daripada harus ‘berderby ria’ dengan Pusamania Borneo FC.

Derby di luar negeri dijaga api panasnya, di sini klubnya dihilangkan. Tragis.

Kadar kecemburuan akan derby derby di Eropa makin meninggi jika melihat tradisi derby yang juga terus dikerdilkan seperti Derby Yogyakarta antara PSS Sleman dan PSIM Yogyakarta. Duel tim sekota yang sudah di level Divisi Utama itu makin dikerdilkan oleh pihak keamanan dan operator liga. Mereka tidak memikirkan langkah-langkah strategis dan antisipatif agar tak terjadi kerusuhan, namun lebih memilih jalan pintas yang dianggap taktis dengan syarat dan ketentuan: pertandingan berlangsung tanpa penonton.

Yang paling sedih adalah istilah derby coba selalu dimunculkan demi mengisi kekosongan derby di negeri ini. Derby Jatim antara Persela, Gresik United, Arema, Persebaya, ada pula Derby Borneo antara Mitra Kukar, Persiba Balikpapan, Pusamania Borneo FC, Derby Papua macam Persipura, Persiwa, hingga Derby Sumatra antara Semen Padang dan Sriwijaya FC. Derby yang merujuk ke duel tim sekota, sengaja dikembangkan sepulau atau seprovinsi. Tragis dan ironis.

Api-api derby di negeri ini sebenarnya masih menyala meski kecil. Persija dengan Persitara juga masih kental permusuhan suporternya meski mereka beda level kompetisi. Yogyakarta dan Sidoarjo (Deltras kontra Persida) juga ada nyala api derby meski di Divisi Utama.

Sementara masih ada satu kota yang berpotensi muncul derby, yakni Surabaya antara Persebaya dan ‘Bonek FC’. Tapi itu terjadi jika Bonek FC tak bubar seperti yang tengah diisukan sekarang. Dan, tentu saja. Selain kita harus mengubah pandangan gampangnya membentuk klub dan berpindah-pindah kota, ada syarat utama yang harus dipenuhi saat ini. Yaitu apalagi kalau bukan digulirkannya kompetisi kembali.

Sampai di sini, boleh lah kita menyebut bahwa derby bagi bangsa sepakbola Indonesia hanyalah sekadar ilmu pengetahuan yang tak pernah dipraktekkan. Hanya sebatas tahu berdasarkan pemberitaan di luar negeri tapi sama sekali tak pernah dinikmati di negeri ini.

Ah membahas derby, malah bikin makin cemburu saja.

No comments